Karya:
Melvi Yendra
TAK ADA kata-kata yang terucap dari mulut Firdaus.
Mulutnya terkunci. Setelah lama diam, dia hanya bisa berucap, “Tapi,
Mak, saya tidak bisa ….”
Datuk Sinaro Rajo melepas napas panjang. Sikap ragu keponakannya
membuat tenggorokan lelaki 60 tahun itu serasa tersumbat. Dia tak
menduga Firdaus akan membantah kata-katanya. Matanya menatap Firdaus
dengan kecewa. Lalu, ia beranjak ke jendela, mencari angin. Di halaman
rumah, tiga ekor anak ayam sedang mencari makan bersama induknya.
“Sepanjang hayat, kau tahu, Mamak menghabiskan hidup untuk mengurus
kalian. Mamak yang mencarikan ibumu suami, walau kemudian ternyata
pilihan Mamak salah. Mamak yang membiayai semua alek gadang-nya, mulai
dari garam dapur sampai satu setelan jas yang dipakai bapakmu. Ketika
kau lahir dengan bedah Caesar, Mamak yang menanggung semua biaya
operasi, karena saat itu bapakmu tak jelas di mana rimbanya. Mamak yang
membiayai sekolah dan kuliahmu karena ibumu kepayahan mengendalikan
penyakit yang sudah diidapnya bertahun-tahun itu.” Lelaki tua itu
berhenti, mengambil napas dalam-dalam, dan sejurus kemudian ia
meneruskan.
“Kini, mamakmu yang sudah tua ini berada
tergantung-gantung di pinggir jurang. Dan satu-satunya orang yang bisa
menyelamatkan Mamak adalah kau. Kalau kau tidak julurkan tangan, artinya
kau membiarkan mamakmu ini mati terempas ke dalam jurang.”
Datuk Sinaro Rajo berhenti sekali lagi. Firdaus tidak berani
mengangkat wajahnya. “Saya tidak bermaksud menolak, Mak ….” sahutnya
terputus.
“Hanya sekali ini, Fir,” Datuk Sinaro Rajo menyela.
“Sekali ini saja Mamak meminta bantuanmu. Tapi Mamak tidak akan bersikap
egois. Mamak sudah pertimbangkan hakmu. Mamak sadar Nelva tidak
sempurna. Karena itu, setelah resmi menikah dengan Nelva, Mamak
mengijinkan kau menikah lagi dengan gadis lain, gadis mana pun yang kau
inginkan. Bahkan Mamak akan biayai pernikahan kalian. Tapi satu hal
harus kau ingat, jaga semua rahasia ini rapat-rapat dari Nelva. Nelva
tidak boleh tahu kalau kau punya istri lagi setelah menikah dengannya.”
Datuk Sinaro Rajo memperbaiki letak peci hitam di atas kepalanya. Ia
menatap Firdaus dengan tatapan tajam sebelum beranjak ke pintu. “Tolong
dipikirkan masak-masak, Fir. Ini permintaan Mamak yang pertama sekaligus
yang terakhir. Kasihanilah Nelva, dan ibalah pada Mamak.
Kalau kau menolak, Nelva akan jadi perawan tua seumur hidupnya.”
Datuk Sinaro Rajo sudah sampai di ambang pintu. Firdaus tidak sempat
menahan pamannya itu. Ia bahkan tidak sempat mengucapkan sepatah kata
pun.
Datuk Sinaro Rajo adalah orang terpandang di Payakumbuh.
Ia kaya raya dan dermawan. Ia dulu yang membangun Masjid Raya
Payakumbuh, yang paling megah dan besar di kota itu. Ia pula yang
menghibahkan tanahnya di Koto Nan Gadang kepada pemerintah kota untuk
dijadikan stadion olahraga. Ia punya lima hotel, sebuah armada taksi,
dan puluhan pom bensin yang tersebar di berbagai kota. Ia ninik mamak
yang sangat disegani. Ia tonggak kokoh dalam adat yang menjadi panutan
semua orang.
Sayangnya, hidupnya dipenuhi cobaan. Istrinya mati muda ketika
melahirkan Nelva, putri tunggal mereka. Namun, cobaan hidup untuknya
tidak hanya sampai di sana. Karena lahir prematur, Nelva kecil punya
fisik tidak sempurna. Kedua kakinya lumpuh total. Dokter mengklaim,
Nelva akan duduk di kursi roda seumur hidupnya. Walau butuh pendamping
untuk mengurus dirinya dan Nelva, Datuk Sinaro Rajo tidak pernah berniat
kembali menikah.
Ia membesarkan Nelva dengan penuh cinta. Ketika umur putrinya cukup
untuk sekolah, Datuk Sinaro Rajo mendatangkan guru privat ke rumahnya.
Begitu seterusnya sampai Nelva menginjak usia SMA. Rumah besar mereka
disulap jadi sekolah pribadi. Walau tak pernah punya ijazah, Nelva
akhirnya tumbuh jadi gadis yang pintar.
Tapi Datuk Sinaro Rajo mulai cemas ketika Nelva menginjak usia 28
tahun. Kekurangan fisik yang ditanggungnya membuat gadis itu jarang
bergaul dengan lawan jenisnya. Jangankan pacar, teman lelaki pun ia
tidak punya. Datuk Sinaro Rajo tidak bisa mencarikan jodoh untuk anak
gadisnya, padahal ia sendiri makin renta. Sang datuk ingin anak
tunggalnya itu menikah sebelum segala-galanya terlambat. Tapi, meskipun
kaya, cantik, dan pintar, banyak orangtua yang enggan mengambil gadis
lumpuh itu sebagai menantu mereka.
Akhirnya, Datuk Sinaro Rajo ingat pada kemenakannya sendiri, Firdaus,
yang baru saja pulang dari Inggris, menyelesaikan kuliah S2-nya.
Firdaus adalah teman bermain Nelva sejak kecil. Teman yang paling dekat.
Datuk Sinaro Rajo berkesimpulan, sudah saatnya kacang diingatkan pada kulitnya.
Namun ada perkara yang belum diketahui Datuk Sinaro Rajo tentang
Firdaus. Sesungguhnya kemenakannya itu sudah punya belahan hati dan jiwa
di tempat lain.
“Tidak soal. Kalian boleh menikah, tapi setelah kau menikahi Nelva terlebih dahulu,” ucap Datuk Sinaro Rajo tegas.
“Tapi itu tidak mungkin, Mak. Rahmi pasti tidak mau diduakan,” sahut Firdaus.
Datuk Sinaro Rajo tampak berang. “Jadi kau lebih mementingkan orang
lain ketimbang mamakmu ini dan Nelva? Apa yang sudah diberikan orang itu
padamu? Siapa yang membesarkanmu dan menyekolahkanmu sehingga bisa
seperti sekarang? Lagi pula Mamak tidak melarang kau dan pacarmu itu
menikah. Mamak hanya minta kau mengambil Nelva menjadi istri pertamamu.
Hanya itu! Berkacalah, Nak! Kalau bukan karena mamakmu ini, kau pasti
sudah jadi gelandangan! Kau tidak punya alasan lagi untuk menolak.
Sebelum kembali ke Lampung, kau sudah harus jadi suami Nelva!”
Wajah Firdaus terasa panas. Hatinya sakit dikatai begitu.
Tapi ia tidak bisa membantah kata-kata mamaknya. Ia tidak bisa berbuat
apa-apa. Ia pasrah.
NELVA tersenyum manis ketika ayahnya usai bicara.
“Ayah bercanda, kan?” Alis semut beriring gadis itu terangkat. Ia
melirik ayahnya dengan tatapan menggoda. Gadis itu duduk di sebuah kursi
roda. Sebuah buku tengkurap di kedua pahanya yang kecil.
Datuk Sinaro Rajo memaksakan senyum. “Tentu saja Ayah sungguh-sungguh,
Sayang … Firdaus sudah pulang. Dia ingin sekali bertemu denganmu. Rindu,
katanya.”
Nelva menerawang diterbangkan angan. Ia terakhir kali bertemu Firdaus
saat Idul Fitri empat tahun yang lalu, lebaran terakhir Firdaus sebelum
pemuda itu disibukkan oleh urusan mengajar di sebuah perguruan tinggi
di Bandar Lampung. Ketika berangkat ke Inggris, Firdaus bahkan tidak
sempat berpamitan ke Payakumbuh. Digebah bayangan masa lalu, wajah gadis
itu merah memendam kerinduan yang dalam.
“Kapan Uda Fir mau ke sini, Yah?
Datuk Sinaro Rajo tersenyum kembali. “Dia baru datang empat hari yang
lalu. Mungkin masih lelah. Lagi pula banyak yang harus disiapkan
sebelum pernikahan kalian.”
Nelva tersipu malu. Ia menggeser kursi rodanya mendekati ayahnya,
yang duduk di kursinya sendiri; sebuah kursi besar yang selalu menghadap
jendela. Diambilnya tangan ayahnya dan diciumnya dengan penuh sayang
dan hormat.
“Terima kasih, Ayah,” lirihnya.
Datuk Sinaro Rajo mengangguk.
“Kau tahu tanah kita yang di Balai Baru, Nel?”
Mata Nelva bergerak-gerak cerdas. “Yang di pinggir jalan itu, Yah? Tentu saja Nelva ingat. Ada apa, Yah?”
“Ada yang mau Ayah perlihatkan padamu dan Firdaus nanti di sana.”
Sekarang mata Nelva mengerjap penuh tanya.
“Ada apa di sana, Yah?” Ia menunggu.
Datuk Sinaro Rajo meraih kepala anak gadisnya lalu mengecupnya. “Ayah
sudah membangun sebuah rumah besar untuk kalian di atasnya, sebagai
hadiah pernikahan dari Ayah untuk kau dan Firdaus.”
Inginnya Nelva bangkit dari kursi rodanya dan menghambur ke pelukan ayahnya. “Terima kasih, Ayah,” ucapnya.
Gadis itu tersenyum. Ia melepas pandang ke halaman. Bibir tipisnya
menyunggingkan senyum. Sejurus kemudian ia berkata tanpa melihat pada
ayahnya. “Ayah, ada yang ingin Nelva tanyakan pada Ayah.”
Datuk Sinaro Rajo agak terkejut. Air mukanya berubah. “Tanyakan saja.”
Nelva menggeleng-geleng dengan gaya yang manis. Ia menundukkan wajah,
menatap kursi rodanya. “Apa Uda Firdaus tidak malu beristrikan wanita
cacat seperti Nelva, Yah? Banyak gadis lain yang lebih baik dari Nelva,
yang bisa ia pilih sesuka hatinya. Apa yang membuat Uda Firdaus mau
menikah dengan Nelva, Yah? Apakah Uda Fir benar-benar mencintai Nelva,
seperti cerita Ayah? Kalau benar, kenapa Uda Fir tak pernah
menunjukkannya?”
Datuk Sinaro Rajo langsung tercekat. Ia terjepit dan sulit menemukan
kata-kata. “Sayang,” katanya secepat yang ia bisa. “Bukankah cinta tak
harus diungkapkan? Seharusnya kau bisa melihat bahwa Firdaus sudah
menyukaimu sejak kalian masih kecil. Bukankah keinginannya untuk menikah
denganmu, sudah merupakan bukti nyata kecintaannya?”
Nelva menatap ayahnya lama-lama. Ia mengangguk, lalu tersenyum. “Maafkan Nelva, Ayah. Nelva percaya.”
PERNIKAHAN itu berlangsung dengan meriah. Tiga ribu undangan disebar
ke seluruh pelosok negeri. Tamu-tamu datang dari Jakarta, Medan,
Surabaya, Lampung, dan Dumai. Pernikahan itu dilansungkan selama tiga
hari berturut-turut.
Dua minggu setelah menikah, Firdaus kembali ke Lampung.
Tiap dua minggu ia pulang ke Payakumbuh, menjalankan kewajibannya
sebagai suami. Setelah seminggu di Payakumbuh, Firdaus kembali lagi ke
Lampung untuk mengajar. Dua minggu kemudian ia pulang lagi ke
Payakumbuh. Begitulah seterusnya.
Setelah setahun menikah dengan Nelva, Firdaus menikahi kekasihnya
Rahmi secara diam-diam di Lampung. Sesuai pesan Datuk Sinaro Rajo, kabar
pernikahan itu disimpan rapat-rapat dari Nelva. Disepakati bersama
bahwa Firdaus akan datang ke Payakumbuh dua minggu sekali seperti yang
sudah-sudah.
Tiga bulan setelah Firdaus menikahi istri keduanya, Datuk Sinaro Rajo
meninggal dunia. Kepergian ayahnya tercinta, membuat semangat hidup
Nelva menurun. Ia jatuh sakit dan semakin lemah. Meski begitu, tiba-tiba
ia positif hamil, sesuatu yang sama sekali tidak diduga banyak orang,
termasuk Firdaus, suaminya sendiri.
Tepat sembilan bulan kemudian, dalam
perjuangan antara hidup dan mati Nelva melahirkan seorang bayi
perempuan cantik yang sehat. Sejak putrinya lahir, bukannya semakin
sering pulang, Firdaus malah semakin betah di Lampung. Padahal Nelva
mulai sakit-sakitan.
Suatu hari, ketika turun dari taksi di depan rumah hadiah
pernikahan yang diberikan mamaknya, Firdaus menemukan rumahnya dalam
keadaan kosong. Ia tidak menemukan Nelva dan Fitri, putri mereka, di
teras seperti biasa. Ibunya, sambil menggendong cucunya yang masih
kecil, menangis terisak-isak ketika menceritakan pada Firdaus bahwa
Nelva telah pergi menghadap Allah seminggu sebelum dia pulang. Kata
dokter, kondisinya yang lemah membuat Nelva tidak mampu bertahan lebih
lama. Sebelum meninggal, Nelva meninggalkan sebuah surat untuk Firdaus
dan berpesan pada orang-orang agar suaminya tidak diberi tahu tentang
kematiannya.
Dalam surat terakhirnya, Nelva menulis:
Uda Sayang, cinta seperti apakah yang Uda punya? Telah
tiba masa ketika bangkai yang Uda simpan selama ini tercium juga baunya.
Jangan kira seorang istri tidak tahu apa yang berubah dari suaminya.
Sejak Uda menikah lagi, Nelva sudah tahu segalanya. Walau semua orang
tutup mulut, tapi panca indra yang Uda punya justru menyibak semua yang
Uda sembunyikan. Tatapan Uda, senyum Uda, sikap Uda. Semuanya berubah.
Petunjuk apa lagi yang bisa dipakai selain itu semua?
Tapi Nelva ikhlas Uda. Biarlah Tuhan saja yang mengganjar semua
perbuatan kita. Mungkin ini salah Ayah, karena memaksa Uda menikah
dengan Nelva. Mungkin pula ini salah Nelva, yang terlalu berharap pada
kebaikan Uda.
Selamat tinggal Uda Sayang. Nelva minta maaf atas segalanya. Jagalah
putri kita. Besarkan dia dengan cinta, sebagaimana dulu kakeknya
membesarkan ibunya.
Dengan cinta,
Nelva.
DI MAKAM Nelva, yang dibangun di sebelah makam Datuk Sinaro Rajo,
Firdaus menangis sesunggukan. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi
kembali ke Lampung. Ia menalak-tiga istri keduanya dan mengundurkan diri
dari tugas mengajarnya di Lampung. Ia lalu menetap di Payakumbuh
bersama putri dan ibunya, sambil meneruskan usaha yang diwariskan
pamannya pada mereka. Firdaus tidak memiliki putri dari istri keduanya,
Rahmi. [*]