Headlines News :

Anak Daro

Written By zulfadli on Kamis, 05 Juli 2012 | 06.38

 Karya: Melvi Yendra

TAK ADA kata-kata yang terucap dari mulut Firdaus. Mulutnya terkunci. Setelah lama diam, dia hanya bisa berucap, “Tapi, Mak, saya tidak bisa ….”
Datuk Sinaro Rajo melepas napas panjang. Sikap ragu keponakannya membuat tenggorokan lelaki 60 tahun itu serasa tersumbat. Dia tak menduga Firdaus akan membantah kata-katanya. Matanya menatap Firdaus dengan kecewa. Lalu, ia beranjak ke jendela, mencari angin. Di halaman rumah, tiga ekor anak ayam sedang mencari makan bersama induknya.
“Sepanjang hayat, kau tahu, Mamak menghabiskan hidup untuk mengurus kalian. Mamak yang mencarikan ibumu suami, walau kemudian ternyata pilihan Mamak salah. Mamak yang membiayai semua alek gadang-nya, mulai dari garam dapur sampai satu setelan jas yang dipakai bapakmu. Ketika kau lahir dengan bedah Caesar, Mamak yang menanggung semua biaya operasi, karena saat itu bapakmu tak jelas di mana rimbanya. Mamak yang membiayai sekolah dan kuliahmu karena ibumu kepayahan mengendalikan penyakit yang sudah diidapnya bertahun-tahun itu.” Lelaki tua itu berhenti, mengambil napas dalam-dalam, dan sejurus kemudian ia meneruskan.
“Kini, mamakmu yang sudah tua ini berada tergantung-gantung di pinggir jurang. Dan satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan Mamak adalah kau. Kalau kau tidak julurkan tangan, artinya kau membiarkan mamakmu ini mati terempas ke dalam jurang.”
Datuk Sinaro Rajo berhenti sekali lagi. Firdaus tidak berani mengangkat wajahnya. “Saya tidak bermaksud menolak, Mak ….” sahutnya terputus.
“Hanya sekali ini, Fir,” Datuk Sinaro Rajo menyela. “Sekali ini saja Mamak meminta bantuanmu. Tapi Mamak tidak akan bersikap egois. Mamak sudah pertimbangkan hakmu. Mamak sadar Nelva tidak sempurna. Karena itu, setelah resmi menikah dengan Nelva, Mamak mengijinkan kau menikah lagi dengan gadis lain, gadis mana pun yang kau inginkan. Bahkan Mamak akan biayai pernikahan kalian. Tapi satu hal harus kau ingat, jaga semua rahasia ini rapat-rapat dari Nelva. Nelva tidak boleh tahu kalau kau punya istri lagi setelah menikah dengannya.”
Datuk Sinaro Rajo memperbaiki letak peci hitam di atas kepalanya. Ia menatap Firdaus dengan tatapan tajam sebelum beranjak ke pintu. “Tolong dipikirkan masak-masak, Fir. Ini permintaan Mamak yang pertama sekaligus yang terakhir. Kasihanilah Nelva, dan ibalah pada Mamak.
Kalau kau menolak, Nelva akan jadi perawan tua seumur hidupnya.”
Datuk Sinaro Rajo sudah sampai di ambang pintu. Firdaus tidak sempat menahan pamannya itu. Ia bahkan tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun.
Datuk Sinaro Rajo adalah orang terpandang di Payakumbuh. Ia kaya raya dan dermawan. Ia dulu yang membangun Masjid Raya Payakumbuh, yang paling megah dan besar di kota itu. Ia pula yang menghibahkan tanahnya di Koto Nan Gadang kepada pemerintah kota untuk dijadikan stadion olahraga. Ia punya lima hotel, sebuah armada taksi, dan puluhan pom bensin yang tersebar di berbagai kota. Ia ninik mamak yang sangat disegani. Ia tonggak kokoh dalam adat yang menjadi panutan semua orang.
Sayangnya, hidupnya dipenuhi cobaan. Istrinya mati muda ketika melahirkan Nelva, putri tunggal mereka. Namun, cobaan hidup untuknya tidak hanya sampai di sana. Karena lahir prematur, Nelva kecil punya fisik tidak sempurna. Kedua kakinya lumpuh total. Dokter mengklaim, Nelva akan duduk di kursi roda seumur hidupnya. Walau butuh pendamping untuk mengurus dirinya dan Nelva, Datuk Sinaro Rajo tidak pernah berniat kembali menikah.

Ia membesarkan Nelva dengan penuh cinta. Ketika umur putrinya cukup untuk sekolah, Datuk Sinaro Rajo mendatangkan guru privat ke rumahnya. Begitu seterusnya sampai Nelva menginjak usia SMA. Rumah besar mereka disulap jadi sekolah pribadi. Walau tak pernah punya ijazah, Nelva akhirnya tumbuh jadi gadis yang pintar.

Tapi Datuk Sinaro Rajo mulai cemas ketika Nelva menginjak usia 28 tahun. Kekurangan fisik yang ditanggungnya membuat gadis itu jarang bergaul dengan lawan jenisnya. Jangankan pacar, teman lelaki pun ia tidak punya. Datuk Sinaro Rajo tidak bisa mencarikan jodoh untuk anak gadisnya, padahal ia sendiri makin renta. Sang datuk ingin anak tunggalnya itu menikah sebelum segala-galanya terlambat. Tapi, meskipun kaya, cantik, dan pintar, banyak orangtua yang enggan mengambil gadis lumpuh itu sebagai menantu mereka.
Akhirnya, Datuk Sinaro Rajo ingat pada kemenakannya sendiri, Firdaus, yang baru saja pulang dari Inggris, menyelesaikan kuliah S2-nya. Firdaus adalah teman bermain Nelva sejak kecil. Teman yang paling dekat.

Datuk Sinaro Rajo berkesimpulan, sudah saatnya kacang diingatkan pada kulitnya.
Namun ada perkara yang belum diketahui Datuk Sinaro Rajo tentang Firdaus. Sesungguhnya kemenakannya itu sudah punya belahan hati dan jiwa di tempat lain.

“Tidak soal. Kalian boleh menikah, tapi setelah kau menikahi Nelva terlebih dahulu,” ucap Datuk Sinaro Rajo tegas.

“Tapi itu tidak mungkin, Mak. Rahmi pasti tidak mau diduakan,” sahut Firdaus.

Datuk Sinaro Rajo tampak berang. “Jadi kau lebih mementingkan orang lain ketimbang mamakmu ini dan Nelva? Apa yang sudah diberikan orang itu padamu? Siapa yang membesarkanmu dan menyekolahkanmu sehingga bisa seperti sekarang? Lagi pula Mamak tidak melarang kau dan pacarmu itu menikah. Mamak hanya minta kau mengambil Nelva menjadi istri pertamamu. Hanya itu! Berkacalah, Nak! Kalau bukan karena mamakmu ini, kau pasti sudah jadi gelandangan! Kau tidak punya alasan lagi untuk menolak. Sebelum kembali ke Lampung, kau sudah harus jadi suami Nelva!”
Wajah Firdaus terasa panas. Hatinya sakit dikatai begitu. Tapi ia tidak bisa membantah kata-kata mamaknya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia pasrah.
NELVA tersenyum manis ketika ayahnya usai bicara.

“Ayah bercanda, kan?” Alis semut beriring gadis itu terangkat. Ia melirik ayahnya dengan tatapan menggoda. Gadis itu duduk di sebuah kursi roda. Sebuah buku tengkurap di kedua pahanya yang kecil.

Datuk Sinaro Rajo memaksakan senyum. “Tentu saja Ayah sungguh-sungguh, Sayang … Firdaus sudah pulang. Dia ingin sekali bertemu denganmu. Rindu, katanya.”

Nelva menerawang diterbangkan angan. Ia terakhir kali bertemu Firdaus saat Idul Fitri empat tahun yang lalu, lebaran terakhir Firdaus sebelum pemuda itu disibukkan oleh urusan mengajar di sebuah perguruan tinggi di Bandar Lampung. Ketika berangkat ke Inggris, Firdaus bahkan tidak sempat berpamitan ke Payakumbuh. Digebah bayangan masa lalu, wajah gadis itu merah memendam kerinduan yang dalam.

“Kapan Uda Fir mau ke sini, Yah?

Datuk Sinaro Rajo tersenyum kembali. “Dia baru datang empat hari yang lalu. Mungkin masih lelah. Lagi pula banyak yang harus disiapkan sebelum pernikahan kalian.”

Nelva tersipu malu. Ia menggeser kursi rodanya mendekati ayahnya, yang duduk di kursinya sendiri; sebuah kursi besar yang selalu menghadap jendela. Diambilnya tangan ayahnya dan diciumnya dengan penuh sayang dan hormat.

“Terima kasih, Ayah,” lirihnya.

Datuk Sinaro Rajo mengangguk.

“Kau tahu tanah kita yang di Balai Baru, Nel?”
Mata Nelva bergerak-gerak cerdas. “Yang di pinggir jalan itu, Yah? Tentu saja Nelva ingat. Ada apa, Yah?”

“Ada yang mau Ayah perlihatkan padamu dan Firdaus nanti di sana.”

Sekarang mata Nelva mengerjap penuh tanya.

“Ada apa di sana, Yah?” Ia menunggu.

Datuk Sinaro Rajo meraih kepala anak gadisnya lalu mengecupnya. “Ayah sudah membangun sebuah rumah besar untuk kalian di atasnya, sebagai hadiah pernikahan dari Ayah untuk kau dan Firdaus.”

Inginnya Nelva bangkit dari kursi rodanya dan menghambur ke pelukan ayahnya. “Terima kasih, Ayah,” ucapnya.

Gadis itu tersenyum. Ia melepas pandang ke halaman. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum. Sejurus kemudian ia berkata tanpa melihat pada ayahnya. “Ayah, ada yang ingin Nelva tanyakan pada Ayah.”
Datuk Sinaro Rajo agak terkejut. Air mukanya berubah. “Tanyakan saja.”

Nelva menggeleng-geleng dengan gaya yang manis. Ia menundukkan wajah, menatap kursi rodanya. “Apa Uda Firdaus tidak malu beristrikan wanita cacat seperti Nelva, Yah? Banyak gadis lain yang lebih baik dari Nelva, yang bisa ia pilih sesuka hatinya. Apa yang membuat Uda Firdaus mau menikah dengan Nelva, Yah? Apakah Uda Fir benar-benar mencintai Nelva, seperti cerita Ayah? Kalau benar, kenapa Uda Fir tak pernah menunjukkannya?”

Datuk Sinaro Rajo langsung tercekat. Ia terjepit dan sulit menemukan kata-kata. “Sayang,” katanya secepat yang ia bisa. “Bukankah cinta tak harus diungkapkan? Seharusnya kau bisa melihat bahwa Firdaus sudah menyukaimu sejak kalian masih kecil. Bukankah keinginannya untuk menikah denganmu, sudah merupakan bukti nyata kecintaannya?”

Nelva menatap ayahnya lama-lama. Ia mengangguk, lalu tersenyum. “Maafkan Nelva, Ayah. Nelva percaya.”

PERNIKAHAN itu berlangsung dengan meriah. Tiga ribu undangan disebar ke seluruh pelosok negeri. Tamu-tamu datang dari Jakarta, Medan, Surabaya, Lampung, dan Dumai. Pernikahan itu dilansungkan selama tiga hari berturut-turut.
Dua minggu setelah menikah, Firdaus kembali ke Lampung. Tiap dua minggu ia pulang ke Payakumbuh, menjalankan kewajibannya sebagai suami. Setelah seminggu di Payakumbuh, Firdaus kembali lagi ke Lampung untuk mengajar. Dua minggu kemudian ia pulang lagi ke Payakumbuh. Begitulah seterusnya.
Setelah setahun menikah dengan Nelva, Firdaus menikahi kekasihnya Rahmi secara diam-diam di Lampung. Sesuai pesan Datuk Sinaro Rajo, kabar pernikahan itu disimpan rapat-rapat dari Nelva. Disepakati bersama bahwa Firdaus akan datang ke Payakumbuh dua minggu sekali seperti yang sudah-sudah.

Tiga bulan setelah Firdaus menikahi istri keduanya, Datuk Sinaro Rajo meninggal dunia. Kepergian ayahnya tercinta, membuat semangat hidup Nelva menurun. Ia jatuh sakit dan semakin lemah. Meski begitu, tiba-tiba ia positif hamil, sesuatu yang sama sekali tidak diduga banyak orang, termasuk Firdaus, suaminya sendiri.

Tepat sembilan bulan kemudian, dalam perjuangan antara hidup dan mati Nelva melahirkan seorang bayi perempuan cantik yang sehat. Sejak putrinya lahir, bukannya semakin sering pulang, Firdaus malah semakin betah di Lampung. Padahal Nelva mulai sakit-sakitan.
Suatu hari, ketika turun dari taksi di depan rumah hadiah pernikahan yang diberikan mamaknya, Firdaus menemukan rumahnya dalam keadaan kosong. Ia tidak menemukan Nelva dan Fitri, putri mereka, di teras seperti biasa. Ibunya, sambil menggendong cucunya yang masih kecil, menangis terisak-isak ketika menceritakan pada Firdaus bahwa Nelva telah pergi menghadap Allah seminggu sebelum dia pulang. Kata dokter, kondisinya yang lemah membuat Nelva tidak mampu bertahan lebih lama. Sebelum meninggal, Nelva meninggalkan sebuah surat untuk Firdaus dan berpesan pada orang-orang agar suaminya tidak diberi tahu tentang kematiannya.
Dalam surat terakhirnya, Nelva menulis:
Uda Sayang, cinta seperti apakah yang Uda punya? Telah tiba masa ketika bangkai yang Uda simpan selama ini tercium juga baunya. Jangan kira seorang istri tidak tahu apa yang berubah dari suaminya. Sejak Uda menikah lagi, Nelva sudah tahu segalanya. Walau semua orang tutup mulut, tapi panca indra yang Uda punya justru menyibak semua yang Uda sembunyikan. Tatapan Uda, senyum Uda, sikap Uda. Semuanya berubah. Petunjuk apa lagi yang bisa dipakai selain itu semua?
Tapi Nelva ikhlas Uda. Biarlah Tuhan saja yang mengganjar semua perbuatan kita. Mungkin ini salah Ayah, karena memaksa Uda menikah dengan Nelva. Mungkin pula ini salah Nelva, yang terlalu berharap pada kebaikan Uda.
Selamat tinggal Uda Sayang. Nelva minta maaf atas segalanya. Jagalah putri kita. Besarkan dia dengan cinta, sebagaimana dulu kakeknya membesarkan ibunya.
Dengan cinta,
Nelva.
DI MAKAM Nelva, yang dibangun di sebelah makam Datuk Sinaro Rajo, Firdaus menangis sesunggukan. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi kembali ke Lampung. Ia menalak-tiga istri keduanya dan mengundurkan diri dari tugas mengajarnya di Lampung. Ia lalu menetap di Payakumbuh bersama putri dan ibunya, sambil meneruskan usaha yang diwariskan pamannya pada mereka. Firdaus tidak memiliki putri dari istri keduanya, Rahmi. [*]
Share this article :

0 komentar :

Posting Komentar

Masukan Anda amat berarti untuk pengembangan web ini selanjutnya


 
Support : Bisnis UKM | Kemenkop | Okebana RSS | Sentra UKM

Copyright © 2012. Okebana - All Rights Reserved
Template Dimodifikasi Oleh Zulfadli
Wartawan Harian Singgalang