| Jumat | 29 Maret 2012 |
Beberapa remaja berjalan beriringan. Mereka terlihat bergegas menuju masjid. Tidak ada yang menyangka mereka adalah tunanetra. Betapa tidak, mereka berjalan laiknya orang-orang normal. Pun beberapa di antaranya seakan mereka melihat.
"Mereka sudah hapal daerah ini," kata Heni Yunida, Kepala UPTD Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tuah Sakato Padang.
Kata Heni, mereka seringkali diingatkan agar memakai tongkat, namun ada juga yang menolak dengan alasan telah hapal daerah tersebut. Terpaksalah dia dan instruktur di PSBN membolehkan, dengan syarat tidak boleh jatuh.
Kemampuan siswa PSBN mengingat setiap jengkal daerah tersebut lantaran mereka diberi orientasi mental pada minggu-minggu awal siswa berada di PSBN. Memang, minggu-minggu awal tersebut merupakan masa-masa melelahkan bagi 25 orang instruktur di sana. Namun setelah itu, instruktur bisa sedikit lega.
Berkat empati yang diberikan para instruktur PSBN, para siswa merasa kerasan di panti. Bahkan mereka menolak ketika diajak pulang oleh sanak saudaranya. “Saya di panti saja, ingin belajar bersama bunda di sini,” kata Afrizal salah seorang cacat netra dari Koto Laweh Solok kepada famili yang mengunjunginya.
Afrizal baru tiga bulan di panti. Malah Afrizal kini telah punya handphone yang bisa dia gunakan untuk menghubungi orangtuanya. Dia pun bisa menyelipkan uang ke tangan orang tuanya kala berkunjung ke sana beberapa waktu lalu.
“Siswa diberi uang saku Rp5.000 per hari. Jadi sebulan mereka mendapat Rp150.000. Sebanyak Rp100.000 kami serahkan pada mereka, sementara sisanya kami haruskan untuk ditabung. Kebijakan ini kami ambil agar mereka nanti punya modal awal setelah tamat belajar di sini,” jelas Heni.
Sudah 167 orang yang menamatkan pendidikan di PSBN. Para lulusan telah tersebar di berbagai daerah di Sumbar, Riau dan Jambi.
Selain itu, yang membuat para siswa betah adalah program kemandirian yang diberikan panti. Di sana mereka bisa belajar kerajinan tangan, belajar musik, diajari massage dan pijat shiatsu. Semua pelajaran itu harus mereka kuasai dalam waktu maksimal 3 tahun. Setelah itu mereka dideterminasi (semacam wisuda).
Heni pun merencanakan mengenalkan IT kepada siswa binaannya. “Sayang hingga detik ini, komputer braille yang kita usulkan belum ditanggapi hingga sekarang,” kata Heni masygul.
Penderita Low vision
Tentang siswa yang seperti melihat dengan mata normal, dijelaskan oleh Orsal, Kepala TU PSBN, “Mereka itu tergolong orang-orang low vision. Orang-orang seperti ini mempunyai kemampuan melihat sangat rendah. Jika siang terik begini, mereka bisa menggunakan indra penglihatan mereka. Namun jika malam mereka kesulitan.”
Menurut Osral, penderita low vision menjalani terapi yang dilakukan dokter mata. Namun kepada mereka tetap diberikan orientasi mental. Mereka dilatih dengan cara menutup mata guna mengenali daerah panti. “Ini kita maksudkan sebagai upaya persiapan jika dokter menyatakan mata penderita low vision tak dapat diobati lagi,” ujar Osral.
Rupanya penyandang low vision inilah yang pada siang hari bertindak sebagai guide bagi rekan-rekan mereka yang mengalami kebutaan total. (*)














