Gembira sekaligus terenyuh berpacu pada nurani Putra Wiwin Nafri. Perasaan itu terus mengganggunya kala para tuna netra yang dididik (kelayan) di PSBN Tuah Sakato bertanya apakah sudah ada tempat yang kosong. Pertanyaan itu berulang lagi setelah beberapa waktu berlalu.“Pak Putra, apakah sudah ada komputer yang bisa saya pakai?” ujar Halomoan Hutapea mengulang pertanyaannya kepada instruktur komputernya itu beberapa menit lalu.
Si Ucok yang berasal dari Ujung Gading, Pasaman Barat itu berbinar gembira kala Putra memberitahu dia bahwa gilirannya sudah tiba. Ucok bisa menggunakan paling ujung. Wajahnya berbinar bahagia sambil berupaya mencapai tempat yang ditunjukkan.
Sambil tersenyum, Ucok meraba keyboar komputer di hadapannya. Dia coba mengingat-ingat. Dia tertawa begitu komputer memberi tahu huruf atau tuts komputer lainnya yang dia tekan sesuai dengan harapannya. Namun itu hanya sebentar.
Ia panik saat komputer ribut ‘meneriakkan’ sesuatu yang terasa berbeda dari yang dia perkirakan. Dia tekan lagi huruf yang menurut dia sama dengan yang dia tekan beberapa menit sebelumnya. Karena tak seperti yang diharapkannya, dia pun memanggil-manggil Putra. “Pak Puuut, bagaimana ini...?” teriaknya berulang kali.
Putra yang tengah mengajari Nia Dewita Sari, terpaksa bergerak cepat mendatangi Ucok. Dengan sabar, dia memberitahu bahwa Ucok salah tekan hingga dia keluar dari aplikasi msword, tempat dia belajar huruf sewaktu mengetikkan biodatanya. Putra pun mengarahkan Ucok kembali ke msword.
“Kalau kita pandai komputer alangkah senangnya. Namun ini saja alangkah sulitnya,” ucapnya menjawab pertanyaan sambil meneruskan aktivitasnya.
Sebagaimana Ucok, Nia mengeluhkan jarinya masih kaku saat Singgalang coba mengajar dia. Nia yang enam bulan lagi harus bersiap untuk diterminasi (menamatkan pendidikannya) mencoba sistem mengetik 10 jari diperkenalkan padanya. “Wah pak lebih mudah cara seperti ini. Ini baru bagi Nia. Bisa lebih mudah hafal letak huruf,” ujarnya girang.
Namun sebagaimana Ucok, Nia pun cepat merasa bosan jika sudah berulang kali mencoba, namun selalu gagal. Mereka bakal belajar lagi setelah rasa bosan hilang. Hanya saja ketika saat semangat belajar muncul, komputer sudah digunakan rekannya.
Putra, tenaga honor yang diperbantukan sebagai instruktur komputer mengakui harus pandai-pandai saat mengajar para kelayan itu. Mereka akan langsung bereaksi jika sikap atau intonasi kita dirasa lain.
Kepala UPTD PSBN Tuah Sakato, Heni Yunida, senang melihat kegembiraan kelayannya. Melihat animo belajar mereka, Heni serasa bertambah motivasinya untuk mendapatkan tambahan komputer.
Dia mengungkapkan setelah komputer didapat, kini program komputer untuk pembelajaran tuna netra pula yang jadi masalah. Program tersebut harus dibeli, Rp4 juta. Parahnya, harga itu untuk penginstalan satu komputer.
Diakui Heni, dulu ada satu komputer bantuan lengkap dengan program pembelajaran bagi tuna netra. Tapi menggunakan bahasa Inggris. Para kelayan sulit memahami, karena mereka beriteraksi dengan komputer lewat suara. “Jadi jangan heran jika para netra belajar, komputernya pun ikut ribut,” kata Heni sambil tertawa.
Sebagaimana Putra, Heni bisa lega proses belajar kelayan sedikit terbantu dengan program komputer yang dimiliki oleh Syafaruddin, mahasiswa UNP jurusan Pendidikan Luar Biasa yang tengah melakukan penelitian bagi tugas akhirnya.
Heni yakin dengan keterampilan komputer, para siswa tidak hanya mengandalkan pijat bagi keberlangsungan hidupnya. Jika mereka terampil komputer, mereka bisa dipakai instansi pemerintah atau perusahaan swasta.
Heni dan Putra berkeinginan kelayan PSBN ke depannya melek komputer. Bahkan kalau bisa melek internet seperti rekannya di Yayasan Bina Netra Jakarta yang kini sudah punya blog sendiri. (zul)
0 komentar :
Posting Komentar
Masukan Anda amat berarti untuk pengembangan web ini selanjutnya