Rukmiarni
sudah menggeluti bisnis bordiran dan sulaman sejak tahun 1970-an.
Sembari berbisnis, guru SD ini pun melakukan kegiatan sosial, mengajari
anak-anak putus sekolah agar punya keterampilan.
Keterampilan membordir dan membuat sulaman, katanya, didapat dari orang tua. “Keterampilan turun temurun. Ninik kami mendapatkannya dari sewaktu belajar di sekolah Belanda,” ujarnya.
Alhasil banyak murid Rukmiarni yang pandai membordir. Mereka umumnya belajar gratis, bahkan ada yang ditampung di rumah sang guru. Selagi belajar, para murid itu telah mulai mengerjakan pesanan konsumen yang relatif mudah penyelesaiannya.
Cara itu ditempuh agar para siswa kian termotivasi belajar. Sebab mereka merasakan hasil jerih payahnya sendiri. “Jika mereka ingin mendapat bayaran lebih, mereka tentu harus lebih mahir menyulam atau membordir. Pesanan yang rumit dan butuh keterampilan tinggi tentu bayarannya lebih tinggi pula,” ujar Rukmiarni.
Rukmiarni pernah merasakan masa jaya usaha yang berlokasi di Minahasa I/7 itu pada 1980-an. Berkat suksesnya itu, dia bersama Alimin diminta membidani kelahiran Kopinkra Ibu Saiyo oleh BLK Sumbar. Tepatnya pada 1986.
Namun usahanya pun mengalami pasang surut. Disadari oleh Rukmiarni saat surut lebih disebabkan oleh jiwa sosialnya yang tinggi. Dia sering harus merelakan anak bordirnya yang ingin membina usaha sendiri. Yang paling menyedihkan adalah siswa-siswa yang dilatihnya ‘dicaplok’ para pesaing. Akibatnya Rukmiarni harus melatih tenaga kerja baru agar roda usahanya tetap berjalan.
Pada era 1990-an, anaknya mulai terjun membantu pengembangan usaha Rukmiarni. Willy Nofranita ketika itu masih SMA. Namun lantaran iba melihat kemunduran usaha ibunya, ia pun ikut menyingsingkan lengan baju memajukan usaha sang ibunda. Sebagai penghormatan usaha itu diberi merek Willy Collection.
Berkat kesabaran dan kegigihan ibu dan anak ini, perlahan usaha berlabel Willy berkembang lagi. Usaha selendang bordri, sulaman koto gadang, kerancang, mukena dan baju bordir itu mulai menggembirakan. Rahasianya, Willy dan Rukmi menetapkan harga yang relatif rendah dengan hasil karya yang sama dengan produk yang dijual lebih mahal.
Perlahan namun pasti, Willy Collection berkembang. Usaha pelaminan pun dilirik. Bahkan jauh sebelum rendang booming, Willy telah mengembangkan usaha pembuatan rendang.
Perkembangan usaha makin bagus setelah Willy bersentuhan dengan KUKMI Sumbar. Pembinaan yang dilakukan KUKMI dan berbagai peluang yang diberikan KUKMI dimanfatkan dengan baik oleh Willy.
“Kami memotivasi Willy. Kita ciptakan peluang dan jaringan sesuai arahan Ketua Umum KUKMI Pusat, HM. Azwir Dainy Tara. KUKMI berupaya memberikan peningkatan akses pasar bagi UKM binaannya,” ujar Sekretaris DPD KUKMI Sumbar, Rustam didampingi Bendahara, Irman.
Keterampilan membordir dan membuat sulaman, katanya, didapat dari orang tua. “Keterampilan turun temurun. Ninik kami mendapatkannya dari sewaktu belajar di sekolah Belanda,” ujarnya.
Alhasil banyak murid Rukmiarni yang pandai membordir. Mereka umumnya belajar gratis, bahkan ada yang ditampung di rumah sang guru. Selagi belajar, para murid itu telah mulai mengerjakan pesanan konsumen yang relatif mudah penyelesaiannya.
Cara itu ditempuh agar para siswa kian termotivasi belajar. Sebab mereka merasakan hasil jerih payahnya sendiri. “Jika mereka ingin mendapat bayaran lebih, mereka tentu harus lebih mahir menyulam atau membordir. Pesanan yang rumit dan butuh keterampilan tinggi tentu bayarannya lebih tinggi pula,” ujar Rukmiarni.
Rukmiarni pernah merasakan masa jaya usaha yang berlokasi di Minahasa I/7 itu pada 1980-an. Berkat suksesnya itu, dia bersama Alimin diminta membidani kelahiran Kopinkra Ibu Saiyo oleh BLK Sumbar. Tepatnya pada 1986.
Namun usahanya pun mengalami pasang surut. Disadari oleh Rukmiarni saat surut lebih disebabkan oleh jiwa sosialnya yang tinggi. Dia sering harus merelakan anak bordirnya yang ingin membina usaha sendiri. Yang paling menyedihkan adalah siswa-siswa yang dilatihnya ‘dicaplok’ para pesaing. Akibatnya Rukmiarni harus melatih tenaga kerja baru agar roda usahanya tetap berjalan.
Pada era 1990-an, anaknya mulai terjun membantu pengembangan usaha Rukmiarni. Willy Nofranita ketika itu masih SMA. Namun lantaran iba melihat kemunduran usaha ibunya, ia pun ikut menyingsingkan lengan baju memajukan usaha sang ibunda. Sebagai penghormatan usaha itu diberi merek Willy Collection.
Berkat kesabaran dan kegigihan ibu dan anak ini, perlahan usaha berlabel Willy berkembang lagi. Usaha selendang bordri, sulaman koto gadang, kerancang, mukena dan baju bordir itu mulai menggembirakan. Rahasianya, Willy dan Rukmi menetapkan harga yang relatif rendah dengan hasil karya yang sama dengan produk yang dijual lebih mahal.
Perlahan namun pasti, Willy Collection berkembang. Usaha pelaminan pun dilirik. Bahkan jauh sebelum rendang booming, Willy telah mengembangkan usaha pembuatan rendang.
Perkembangan usaha makin bagus setelah Willy bersentuhan dengan KUKMI Sumbar. Pembinaan yang dilakukan KUKMI dan berbagai peluang yang diberikan KUKMI dimanfatkan dengan baik oleh Willy.
“Kami memotivasi Willy. Kita ciptakan peluang dan jaringan sesuai arahan Ketua Umum KUKMI Pusat, HM. Azwir Dainy Tara. KUKMI berupaya memberikan peningkatan akses pasar bagi UKM binaannya,” ujar Sekretaris DPD KUKMI Sumbar, Rustam didampingi Bendahara, Irman.
Menurut Rustam, KUKMI sedang menjajaki peluang bagi Willy untuk go internasional. Dalam tahun ini dilakukan penjajakan awal dengan sejumlah pengusaha Malaysia. “Mudah-mudahan, 2013 ini produk Willy dan binaan KUKMI lainnya akan beredar di pameran atau pasar Malaysia,” ujar Rustam. (zulfadli)
(Diterbitkan Singgalang Edisi Kamis 2 Agustus 2012, halaman C-25)

0 komentar :
Posting Komentar
Masukan Anda amat berarti untuk pengembangan web ini selanjutnya