Banyak cara untuk membuktikan cinta. Mengabadikannya lewat branded usaha pun ditempuh. Seperti yang dilakukan oleh pasangan Indra Sakti Nauli dan Helma Tuti.
Keduanya menjadikan tanggal pernikahan
sebagai merek dagang bagi usaha asesoris rumah tangga yang terbuat dari bahan
perca. Ada
tutup kulkas, tutup galon, tutup magic com, tatakan gelas, alas panas, sapu
tangan, lap tangan gantung dan tutup
tudung saji.
“Kami memberi merek 159Art bagi
usaha ini. 159 berasal dari tanggal pernikahan, 15 September. Agar mudah
mengingatkan kami kepada tangal sakral itu,” ujar Indra sambil tersenyum kepada
Ema.
Dua tahun sudah menekuni usaha
pembuatan asesoris dari bahan perca tersebut. Meski dari perca berkat ketekunan
dan kreativitas Indra dan Ema, hasil padu padan guntingan sisa kain konveksi
dari Agam itu terlihat manis dan menarik. Produk tersebut dibanderol dalam
harga yang relatif terjangkau antara Rp15.000 hingga Rp50.000 per produk. Tak
heran produk yang menyasar kalangan menengah atas ini laku keras di berbagai
pameran yang diikuti.
Namun sayang, berbagai produk
159Art terpaksa dibuat dalam limited edition (edisi dan jumlah terbatas).
Kendati laku sekalipun, tidak akan ada produk dengan bentuk dan motif yang sama.
“Kami mendapatkan bahan perca
dari konveksi di Agam dan Bukittinggi. Biasanya mereka membeli kain berseri,
jika kain itu habis maka bahan dan motif yang kami dapatkan akan berbeda pula,”
ujar Tuti.
Tidak hanya itu, dalam proses
pembuatannya, rasa cinta keduanya pun dilibatkan. Indra bertugas menggunting bahan-bahan
menjadi berbentuk segitiga, segi empat dan sebagainya.
Ema yang melanjutkannya, menyusun
guntingan aneka bentuk dan motif kain itu. Jiwa seni amat berperan dalam
penyatuan berbagai bahan perca tersebut. Hal inilah yang menjadi penyebab
159Art sulit memrpoduksi dalam jumlah banyak. Akibatnya, sulit memenuhi
permintaan yang kian hari kian banyak.
Tak jarang waktu sebulan dua bulan
dihabiskan bagi pemenuhan stok barang yang akan dibawa ke ajang pameran.
Apalagi dua tenaga kerja yang dimiliki lebih banyak bertugas menyambung
bagian-bagian yang telah dipadu padan Ema.
“Sulit mencari tenaga jahit yang
mumpuni saat ini. Meski diberi upah lebih tinggi dalam pembuatan produk kami.
Di Bukittinggi, sekodi diberi upah antara Rp60.000-Rp70.000. Sementara 159Art
sanggung memberi upah Rp10.000 per potong,” aku dara asal Sungai Puar itu.
Ema pun mengakui kesulitan
memenuhi order bertambah lantaran dia dan suami bertambah pula tanggungjawab di
kantor masing-masing. “Jika saya ngajar di di TK dan STKIP Adzkia, maka praktis baru sore atau
malam bisa mengerjakan pesanan. Tapi kami telah dapat solusi buat mengatasi hal
ini. Moga ke depannya 159Art akan berkembang dan menjadi trend setter asesoris
rumah tangga,” kata Ema yang mengaku telah mulai menjahit sejak SD.
(zulfadli)
(Diterbitkan Singgalang Edisi Kamis 2 Agustus 2012, halaman C-24)

0 komentar :
Posting Komentar
Masukan Anda amat berarti untuk pengembangan web ini selanjutnya