Headlines News :
Home » » Tingkatkan Kualitas Dokter, Perkuat Saja Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013

Tingkatkan Kualitas Dokter, Perkuat Saja Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013

Written By zulfadli on Rabu, 12 Juni 2019 | 14.11


Padang – Kalangan medis dan stakeholder terkait pendidikan kedokteran Sumbar ingin

agar Undang-undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran sebaiknya tetap dipertahankan. Kekurangannya bisa dilakukan dengan cara memperkuatnya dengan aturan turunan.
Bahkan jika diperlukan sekali, undang-undang tesebut direvisi. Lalu masukkan klausul yang belum mengatur hal-hal yang mendasari pembuatan undang-undang baru tentang pendidikan kedokteran itu.
“Rancangan undang-undang ini dibuat untuk menggantikan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Tapi perwakilan fakultas kedokteran sebagai penghasil, rumah sakit sebagai pengguna jasa dokter dan dinas kesehatan Sumbar merasa rancangan itu tidak terlalu mendesak. Malah mereka minta memperkuatnya dengan aturan turunan dan perbaiki komitmen untuk melaksanakannya,” usai pertemuan dengan Kepala Dinas Kesehatan Sumbar, IDI Sumbar, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, RS M Djamil, Konsultan RS M Djamil Padang dan UU Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013.
Leonardy menjelaskan, keinginan akademisi dan praktisi di dunia kedokteran Sumbar sangat wajar. Mereka beranggapan dasar untuk membuat undang-undang baru kurang kuat. Apalagi kajian mendalam sebagai evaluasi terhadap undang-undang tersebut belum pula ada.
Pandangan-pandangan terhadap rancangan itu sangat berarti untuk kemajuan dunia kedokteran di Indonesia. Peningkatan kualitas dokter harus dibarengi dengan naiknya kepedulian atas peralatan dan fasilitas penunjangnya. Termasuk dalam hal ini, soal insentif yang disesuaikan dengan tuntutan kompetensi.

Jangankan itu, aturan turunan sebagaimana layaknya sebuah undang-undang boleh dikata belumlah lengkap. Baru ada satu peraturan pemerintah. “Bagus juga kita lengkapi aturan-aturan turunannya seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan menteri untuk memperkuat undang-undang. Jangan sampai undang-undang berganti terus saat dirasa kurang. Sumber daya habis, tapi malah menurunkan kualitas dokter khususnya dan kesehatan masyarakat Indonesia pada umumnya,” tegas Leonardy.
Lebih jauh Leonardy menyatakan kita pantas khawatir dengan kenyataan bahwa kualitas kesehatan Indonesia hanya setingkat di atas Kamboja. Bahkan ada fakta yang memiriskan, dari 20 besar rumah sakit di ASEAN, tidak ada satu pun nama rumah sakit Indonesia. Padahal Indonesia sudah susah payah mengupayakan akreditasi rumah sakit yang menyedot dana besar.
Oleh karena itu pemerintah hendaknya menyegerakan aturan turunan sebagai payung hukum keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam memajukan pendidikan kedokteran. Biaya operasional pendidikan kedokteran dihitung secermat mungkin, lalu persentase keikutsertaan pemerintah diatur, sehingga penyelenggara pendidikan kedokteran tidak seenaknya memungut biaya kuliah dan uang pembangunan yang fantastis.
Kepala Dinas Kesehatan Sumbar Dr Merry Yuliesday, MARS pun setuju dengan usulan untuk memperkuat undang-undang yang sudah ada dengan aturan turunan. Terlebih saat ini pemerintah daerah menerapkan pula retribusi daerah bagi calon dokter yang sedang dalam pendidikan di rumah-rumah sakit daerah.
Dia pun memandang peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjamin uji kompetensi menghasilkan tenaga dokter yang kompeten. Begitu juga dengan pembenahan sistem, kurikulum dan biaya pendidikan.
Dekan Fakultas Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Dr. dr. Wirsma Arif Harahap, SpB(K)-Onk, malah mengkhawatirkan banyaknya jumlah dokter yang dihasilkan oleh 83 fakultas kedokteran di berbagai universitas di Indonesia. Ada sekitar 11.000 dokter yang dihasilkan institusi pendidikan kedokteran per tahun.
Ditegaskannya paling banyak dihasilkan oleh perguruan tinggi swasta, karena 63 fakultas kedokteran dikelola swasta. Paling banyak tidak lulus uji kompetensi pun dari perguruan tinggi swasta ini. Tapi yang disuarakan adalah adanya upaya menghalangi dokter untuk melayani masyarakat.
“Sangat riskan jika dokter yang tidak kompeten dipermudah mendapatkan sertifikat dokter ini. Seperti apa kualitas kesehatan masyarakat jika ditangani dokter yang tidak kompeten?” ungkapnya.
Sang dekan juga mengunkapkan fakta bahwa soal-soal uji kompetensi sangat mudah dan telah disesuaikan dengan berbagai uji coba dan feedback yang masuk. Baru diujikan. “Soal itu disesuaikan dengan kemampuan dokter umum lho,” paparnya.
Terkait soal biaya, Wirsma Arif mengusulkan agar pemerintah menetapkan batas atas dan batas bawah untuk biaya pendidikan kedokteran. Hal ini diperlukan agar pihak universitas maupun yayasan dibatasi untuk menjadikan fakultas kedokteran sebagai lumbung pemasukan untuk pengembangan kampus mereka.
Hal itu dibenarkan oleh dr Rizki Rahmadian, SpOT (K), M.Kes, ahli ortopedi yang kini menjabat Wakil Ketua IDI Sumbar. Pria yang ikut dalam pembuatan soal uji kompetensi ini menyatakan IDI juga sangat peduli dengan mutu lulusan fakultas kedokteran dan sebarannya. Selain penerimaan mahasiswa, kurikulum perlu dievaluasi pelaksanaannya agar kualitas lulusan meningkat. Lalu standard kompetensi dokter Indonesia yang ada saat ini perlu direvisi hingga benar-benar cocok dengan kasus-kasus di lapangan.
“Saya melihat, kemampuan klinis seorang dokter umum jauh menurun. Saya berpendapat mutu fakultas kedokteran perlu diawasi dengan ketat dan kompetensi dokter harus dibuktikan,” ungkapnya.
Dr Adrizal Rahman, SpM (konsultan RS M Djamil Padang) dan dr. Oeya Kirsyaf SpP (K) dari M Djamil) juga memberikan penegasan senada. Pendapat lebih lugas diungkapkan oleh Dr. dr. Masrul, MSc, SpGK mengungkapkan bahwa ada delapan aturan pemerintah yang harus ditetapkan. Tapi yang ada baru satu.
“Peran pemerintah sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang No.20 tahun 2013. Tapi payung hukum bagi pemerintah tidak tercantum. Aturan turunannya pun belum ada. Ini yang harus disegerakan pemerintah,” ungkapnya.
Masrul menyarankan agar konsistensi pelaksanaan undang-undang perlu diperhatikan pemerintah. Lalu diupayakan pula membatasi kepentingan pihak-pihak swasta pemilik modal untuk bebas mengembangkan fakultas kedokteran. (*)

Share this article :

0 komentar :

Posting Komentar

Masukan Anda amat berarti untuk pengembangan web ini selanjutnya


 
Support : Bisnis UKM | Kemenkop | Okebana RSS | Sentra UKM

Copyright © 2012. Okebana - All Rights Reserved
Template Dimodifikasi Oleh Zulfadli
Wartawan Harian Singgalang