agar Undang-undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran sebaiknya tetap dipertahankan. Kekurangannya bisa dilakukan dengan cara memperkuatnya dengan aturan turunan.
Bahkan jika diperlukan sekali, undang-undang tesebut direvisi.
Lalu masukkan klausul yang belum mengatur hal-hal yang mendasari pembuatan
undang-undang baru tentang pendidikan kedokteran itu.
“Rancangan undang-undang ini dibuat untuk menggantikan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Tapi perwakilan
fakultas kedokteran sebagai penghasil, rumah sakit sebagai pengguna jasa dokter
dan dinas kesehatan Sumbar merasa rancangan itu tidak terlalu mendesak. Malah
mereka minta memperkuatnya dengan aturan turunan dan perbaiki komitmen untuk
melaksanakannya,” usai pertemuan dengan Kepala Dinas Kesehatan Sumbar, IDI
Sumbar, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, RS M Djamil, Konsultan
RS M Djamil Padang dan UU Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013.
Leonardy menjelaskan, keinginan akademisi dan praktisi di dunia
kedokteran Sumbar sangat wajar. Mereka beranggapan dasar untuk membuat
undang-undang baru kurang kuat. Apalagi kajian mendalam sebagai evaluasi
terhadap undang-undang tersebut belum pula ada.
Pandangan-pandangan terhadap rancangan itu sangat berarti untuk
kemajuan dunia kedokteran di Indonesia. Peningkatan kualitas dokter harus
dibarengi dengan naiknya kepedulian atas peralatan dan fasilitas penunjangnya.
Termasuk dalam hal ini, soal insentif yang disesuaikan dengan tuntutan
kompetensi.
Jangankan itu, aturan turunan sebagaimana layaknya sebuah undang-undang
boleh dikata belumlah lengkap. Baru ada satu peraturan pemerintah. “Bagus juga kita
lengkapi aturan-aturan turunannya seperti peraturan pemerintah, peraturan
presiden, keputusan menteri untuk memperkuat undang-undang. Jangan sampai
undang-undang berganti terus saat dirasa kurang. Sumber daya habis, tapi malah
menurunkan kualitas dokter khususnya dan kesehatan masyarakat Indonesia pada
umumnya,” tegas Leonardy.
Lebih jauh Leonardy menyatakan kita pantas khawatir dengan
kenyataan bahwa kualitas kesehatan Indonesia hanya setingkat di atas Kamboja.
Bahkan ada fakta yang memiriskan, dari 20 besar rumah sakit di ASEAN, tidak ada
satu pun nama rumah sakit Indonesia. Padahal Indonesia sudah susah payah
mengupayakan akreditasi rumah sakit yang menyedot dana besar.
Oleh karena itu pemerintah hendaknya menyegerakan aturan turunan sebagai
payung hukum keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam memajukan pendidikan
kedokteran. Biaya operasional pendidikan kedokteran dihitung secermat mungkin,
lalu persentase keikutsertaan pemerintah diatur, sehingga penyelenggara
pendidikan kedokteran tidak seenaknya memungut biaya kuliah dan uang
pembangunan yang fantastis.
Kepala Dinas Kesehatan Sumbar Dr Merry Yuliesday, MARS pun setuju
dengan usulan untuk memperkuat undang-undang yang sudah ada dengan aturan
turunan. Terlebih saat ini pemerintah daerah menerapkan pula retribusi daerah
bagi calon dokter yang sedang dalam pendidikan di rumah-rumah sakit daerah.
Dia pun memandang peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjamin
uji kompetensi menghasilkan tenaga dokter yang kompeten. Begitu juga dengan pembenahan
sistem, kurikulum dan biaya pendidikan.
Dekan Fakultas Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Dr. dr. Wirsma
Arif Harahap, SpB(K)-Onk, malah mengkhawatirkan banyaknya jumlah dokter yang
dihasilkan oleh 83 fakultas kedokteran di berbagai universitas di Indonesia.
Ada sekitar 11.000 dokter yang dihasilkan institusi pendidikan kedokteran per
tahun.
Ditegaskannya paling banyak dihasilkan oleh perguruan tinggi
swasta, karena 63 fakultas kedokteran dikelola swasta. Paling banyak tidak
lulus uji kompetensi pun dari perguruan tinggi swasta ini. Tapi yang disuarakan
adalah adanya upaya menghalangi dokter untuk melayani masyarakat.
“Sangat riskan jika dokter yang tidak kompeten dipermudah
mendapatkan sertifikat dokter ini. Seperti apa kualitas kesehatan masyarakat
jika ditangani dokter yang tidak kompeten?” ungkapnya.
Sang dekan juga mengunkapkan fakta bahwa soal-soal uji kompetensi sangat
mudah dan telah disesuaikan dengan berbagai uji coba dan feedback yang masuk.
Baru diujikan. “Soal itu disesuaikan dengan kemampuan dokter umum lho,” paparnya.
Terkait soal biaya, Wirsma Arif mengusulkan agar pemerintah
menetapkan batas atas dan batas bawah untuk biaya pendidikan kedokteran. Hal ini
diperlukan agar pihak universitas maupun yayasan dibatasi untuk menjadikan
fakultas kedokteran sebagai lumbung pemasukan untuk pengembangan kampus mereka.
Hal itu dibenarkan oleh dr Rizki Rahmadian, SpOT (K), M.Kes, ahli
ortopedi yang kini menjabat Wakil Ketua IDI Sumbar. Pria yang ikut dalam
pembuatan soal uji kompetensi ini menyatakan IDI juga sangat peduli dengan mutu
lulusan fakultas kedokteran dan sebarannya. Selain penerimaan mahasiswa, kurikulum
perlu dievaluasi pelaksanaannya agar kualitas lulusan meningkat. Lalu standard kompetensi
dokter Indonesia yang ada saat ini perlu direvisi hingga benar-benar cocok
dengan kasus-kasus di lapangan.
“Saya melihat, kemampuan klinis seorang dokter umum jauh menurun.
Saya berpendapat mutu fakultas kedokteran perlu diawasi dengan ketat dan
kompetensi dokter harus dibuktikan,” ungkapnya.
Dr Adrizal Rahman, SpM (konsultan RS M Djamil Padang) dan dr. Oeya
Kirsyaf SpP (K) dari M Djamil) juga memberikan penegasan senada. Pendapat lebih
lugas diungkapkan oleh Dr. dr. Masrul, MSc, SpGK mengungkapkan bahwa ada delapan aturan pemerintah yang harus
ditetapkan. Tapi yang ada baru satu.
“Peran pemerintah sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang
No.20 tahun 2013. Tapi payung hukum bagi pemerintah tidak tercantum. Aturan
turunannya pun belum ada. Ini yang harus disegerakan pemerintah,” ungkapnya.
Masrul menyarankan agar konsistensi pelaksanaan undang-undang
perlu diperhatikan pemerintah. Lalu diupayakan pula membatasi kepentingan
pihak-pihak swasta pemilik modal untuk bebas mengembangkan fakultas kedokteran.
(*)


0 komentar :
Posting Komentar
Masukan Anda amat berarti untuk pengembangan web ini selanjutnya