Padang - Belum kunjung dilaksanakannya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang yang mengharuskan Gubernur mengembalikan jabatan Ketua DPRD Padang kepada Erisman ternyata memantik banyak silang pendapat. Ada yang menganggap putusan terhadap perkara No. 11/G/2017/PTUN/Padang belum inkracht karena gubernur melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Sementara itu, ada pula yang meminta gubernur menghormati putusan PTUN Padang tersebut. Jika tidak hati-hati, ada celah bagi KPK untuk masuk ke dalam sengketa ini. Hal ini diingatkan akademisi dari STIH Padang, Laurensius Arliman.
“Hendaknya kita memahami benar tentang hukum tata usaha negara. Jangan menyamakannya dengan hukum pidana atau perdata. Pada pidana atau perdata, sebelum ada putusan yang tetap atau inkracht, barulah tak ada penghalang putusan pengadilan dilaksanakan,” ujarnya, Rabu (15/11).
Laurensius menegaskan pada kasus gugatan Erisman terhadap Gubernur Sumbar, majelis hakim telah membatalkan surat keputusan gubernur yang telah memberhentikan Erisman sebagai ketua DPRD Padang.
Kesalahan tanggal pada suatu surat dalam administrasi negara bukanlah perkara sepele.
“Ada aturan untuk menggantinya. Batalkan surat yang salah, jalani prosedur sesuai yang berlaku pada surat terdahulu, baru diterbitkan surat yang baru. Jangan main tarik dan ganti dengan surat yang baru,” tegasnya.
Pada putusan itu, majelis juga menyatakan penundaan. Artinya, selama belum ada keputusan yang membatalkan putusan tersebut, dilakukan penundaan pelaksanaan surat keputusan gubernur. Disebutkannya, Gubernur harus mengembalikan jabatan Erisman terlebih dahulu dengan mencabut keputusan pemberhentian terhadapnya dan menerbitkan surat keputusan yang baru.
Penasihat hukum yang kini tengah mengambil S3 di Fakultas Hukum Universitas Andalas menilai PTUN Padang bukan bertindak melebihi kewenangannya. Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Herisman dan beranggotakan Zabdi Palangan dan M. Afif telah menyatakan berbagai pertimbangan dan alasan yang menyatakan PTUN Padang berwenang menyelesaikan sengketa a quo.
“Saya melihat, ini cara PTUN Padang melakukan koreksi terhadap kebijakan dan cara mengeluarkan kebijakan dari seorang pejabat pemerintah. Dalam konteks ini koreksi terhadap gubernur. Salah dalam menjalankan administrasi negara bisa berimplikasi pada penyalahgunaan wewenang. Salah guna wewenang bisa memberi celah kepada KPK untuk masuk,” ujarnya.
PTUN Padang dinilai Laurensius telah berupaya keras memenuhi prinsip keadilan dan kehati-hatian dalam penggunaan anggaran negara. Ini tampak dari bunyi keputusan yang mengembalikan kedudukan Erisman sampai didapatkan hukum berkekuatan tetap, namun Erisman tidak menerima gaji sebagai Ketua DPRD karena jabatan tersebut tengah menjadi objek perkara.
Dia menjelaskan, seandainya PTTUN juga menguatkan keputusan PTUN. Andaikan sampai berkekuatan hukum tetap pun Erisman selalu menang. Tentu SK 171-578-2017 tentang peresmian pemberhentian dan pengangkatan pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah Kota Padang sisa masa jabatan 2014-2019, tanggal 14 Juni 2017 tidak sah.
“Apakah mungkin Ketua DPRD yang menggantikan Erisman mau mengembalikan gaji, tunjangan jabatan dan fasilitas yang dia nikmati? Bukankan ini menimbulkan masalah hukum baru. Di sini letak pertimbangan jauh ke depan dari seorang hakim,” jelasnya.
Dia mengingatkan sekali penundaan harus dilaksakan. Jika tidak, tentu tunjangan jabatan ketua DPRD pengganti Erisman harus dibayarkan.
Ini menyalahi aturan dan menyalahi prinsip anggaran yang meliputi keterbukaan, demokrasi dalam prosedur, pengawasan yang auditif, efisiensi berkeadilan, keseimbangan serta kesinambungan yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang pengelolaan keuangan negara dan perbendaharaan negara. Salah satu prinsip dilanggar, berarti telah menyalahi kewenangan dan melanggar undang-undang.
Dia mengimbau kepada pejabat di Padang dan Sumbar umumnya, “Ayolah menjadi contoh dalam menghormati putusan pengadilan. Minta pertimbangan hukum yang benar dari bagian hukum. Jika perlu minta pandangan dari para ahli di perguruan tinggi. (zul)
Sementara itu, ada pula yang meminta gubernur menghormati putusan PTUN Padang tersebut. Jika tidak hati-hati, ada celah bagi KPK untuk masuk ke dalam sengketa ini. Hal ini diingatkan akademisi dari STIH Padang, Laurensius Arliman.
“Hendaknya kita memahami benar tentang hukum tata usaha negara. Jangan menyamakannya dengan hukum pidana atau perdata. Pada pidana atau perdata, sebelum ada putusan yang tetap atau inkracht, barulah tak ada penghalang putusan pengadilan dilaksanakan,” ujarnya, Rabu (15/11).
Laurensius menegaskan pada kasus gugatan Erisman terhadap Gubernur Sumbar, majelis hakim telah membatalkan surat keputusan gubernur yang telah memberhentikan Erisman sebagai ketua DPRD Padang.
Kesalahan tanggal pada suatu surat dalam administrasi negara bukanlah perkara sepele.
“Ada aturan untuk menggantinya. Batalkan surat yang salah, jalani prosedur sesuai yang berlaku pada surat terdahulu, baru diterbitkan surat yang baru. Jangan main tarik dan ganti dengan surat yang baru,” tegasnya.
Pada putusan itu, majelis juga menyatakan penundaan. Artinya, selama belum ada keputusan yang membatalkan putusan tersebut, dilakukan penundaan pelaksanaan surat keputusan gubernur. Disebutkannya, Gubernur harus mengembalikan jabatan Erisman terlebih dahulu dengan mencabut keputusan pemberhentian terhadapnya dan menerbitkan surat keputusan yang baru.
Penasihat hukum yang kini tengah mengambil S3 di Fakultas Hukum Universitas Andalas menilai PTUN Padang bukan bertindak melebihi kewenangannya. Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Herisman dan beranggotakan Zabdi Palangan dan M. Afif telah menyatakan berbagai pertimbangan dan alasan yang menyatakan PTUN Padang berwenang menyelesaikan sengketa a quo.
“Saya melihat, ini cara PTUN Padang melakukan koreksi terhadap kebijakan dan cara mengeluarkan kebijakan dari seorang pejabat pemerintah. Dalam konteks ini koreksi terhadap gubernur. Salah dalam menjalankan administrasi negara bisa berimplikasi pada penyalahgunaan wewenang. Salah guna wewenang bisa memberi celah kepada KPK untuk masuk,” ujarnya.
PTUN Padang dinilai Laurensius telah berupaya keras memenuhi prinsip keadilan dan kehati-hatian dalam penggunaan anggaran negara. Ini tampak dari bunyi keputusan yang mengembalikan kedudukan Erisman sampai didapatkan hukum berkekuatan tetap, namun Erisman tidak menerima gaji sebagai Ketua DPRD karena jabatan tersebut tengah menjadi objek perkara.
Dia menjelaskan, seandainya PTTUN juga menguatkan keputusan PTUN. Andaikan sampai berkekuatan hukum tetap pun Erisman selalu menang. Tentu SK 171-578-2017 tentang peresmian pemberhentian dan pengangkatan pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah Kota Padang sisa masa jabatan 2014-2019, tanggal 14 Juni 2017 tidak sah.
“Apakah mungkin Ketua DPRD yang menggantikan Erisman mau mengembalikan gaji, tunjangan jabatan dan fasilitas yang dia nikmati? Bukankan ini menimbulkan masalah hukum baru. Di sini letak pertimbangan jauh ke depan dari seorang hakim,” jelasnya.
Dia mengingatkan sekali penundaan harus dilaksakan. Jika tidak, tentu tunjangan jabatan ketua DPRD pengganti Erisman harus dibayarkan.
Ini menyalahi aturan dan menyalahi prinsip anggaran yang meliputi keterbukaan, demokrasi dalam prosedur, pengawasan yang auditif, efisiensi berkeadilan, keseimbangan serta kesinambungan yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang pengelolaan keuangan negara dan perbendaharaan negara. Salah satu prinsip dilanggar, berarti telah menyalahi kewenangan dan melanggar undang-undang.
Dia mengimbau kepada pejabat di Padang dan Sumbar umumnya, “Ayolah menjadi contoh dalam menghormati putusan pengadilan. Minta pertimbangan hukum yang benar dari bagian hukum. Jika perlu minta pandangan dari para ahli di perguruan tinggi. (zul)
0 komentar :
Posting Komentar
Masukan Anda amat berarti untuk pengembangan web ini selanjutnya